Pada umumnya surat wasiat digunakan untuk menentukan peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris atau pihak lain. Surat wasiat atau testamen merupakan sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya. Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup, namun kepemilikan tersebut baru akan terjadi setelah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila tidak ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.
Unsur-unsur wasiat adanya
- pemberi wasiat,
- penerima wasiat, dan
- harta yang dimiliki pemberi wasiat dimana peralihan baru dapat terjadi setelah pembuat wasiat telah meninggal.
Ada dua jenis wasiat, yaitu wasiat pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah wasiat (legaat).
- Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)
Erfstelling artinya penunjukan satu/beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan, sedangkan orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam, yang kemudian dicatat dalam surat wasiat. (Pasal 954 KUHPerdata)
- Hibah Wasiat (legaat)
Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).
Semua hibah wasiat yang murni dan tidak bersyarat, sejak hari meninggalnya pewaris, memberikan hak kepada penerima hibah wasiat (legitaris); untuk menuntut barang yang dihibahkan, dan hak ini beralih kepada sekalian ahli waris atau penggantinya
Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan, pada praktiknya surat wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting agar surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan diakui keberadaannya pada saat Surat Keterangan Waris dibuat.
Beberapa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai wasiat, yaitu:
1. Dalam wasiat jika terdapat syarat yang tidak mungkin dilaksanakan, atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik, maka harus dianggap tidak tertulis. (Pasal 888)
2. Larangan fidei-commis atau lompat tangan, yaitu wasiat yang menetapkan seseorang yang diangkat sebagai waris atau menerima hibah wasiat untuk menyimpan barang warisan untuk diserahkan seluruh atau sebagian kepada pihak lain. (Pasal 879)
3. Larangan untuk memberikan wasiat bagi istri atau suami yang perkawinannya tanpa izin yang sah, sehingga keabsahan perkawinannya masih dapat dipertengkarkan di muka hakim. (Pasal 901)
4. Tidak boleh memberikan wasiat kepada suami atau istri apabila pewaris memiliki anak atau keturunannya dari perkawinannya yang terdahulu melebihi bagian yang sudah ditentukan dalam Pasal 852a KUH Perdata. Bagian yang dimaksud adalah tidak boleh lebih besar dari bagian terkecil anak sah dan bagaimanapun juga tidak boleh lebih dari 1/4 bagian. (Pasal 902 jo. 852a)
5. yang menyebutkan bahwa suami dan istri hanya diperbolehkan menghibahwasiatkan barang-barang dari harta perkawinan mereka, sebatas barang tersebut menjadi bagian mereka masing-masing. Berdasarkan pasal ini, bila suatu barang dan harta bersama itu dihibahwasiatkan, penerima hibah wasiat tidak dapat menuntut barang itu dalam wujudnya, bila barang itu tidak diserahkan oleh pewaris kepada ahli waris sebagai bagian mereka. Dalam hal itu, penerima hibah wasiat harus diberi ganti rugi, yang diambil dan bagian harta bersama yang dibagikan kepada para ahli waris si pewaris, dan bila tidak mencukupi, diambil dan barang-barang pribadi para ahli waris. (Pasal 903 KUH)
6. Larangan untuk menghibahwasiatkan untuk keuntungan wali, guru, imam, dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan, dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat pewaris selama menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal, notaris dan saksi-saksi dalam pembuatan wasiat. (Pasal 904-907)
7. Larangan untuk memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi apa yang telah diatur dalam Pasal 863 KUH Perdata mengenai bagian anak luar kawin yang telah diakui. (Pasal 908)
8. Larangan untuk memberikan wasiat kepada kawan zinanya yang telah dibuktikan dengan suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. (Pasal 909)
9. Larangan untuk memberikan wasiat kepada mereka yang telah dipidana karena membunuh pewaris, orang yang menggelapkan, memusnahkan, atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau yang dengan paksaan atau kekerasan menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat serta istri atau suami dan anak-anaknya. Hal ini juga berkaitan dengan mereka yang dinyatakan tak pantas mewaris berdasarkan Pasal 838 KUH Perdata. (Pasal 912 KUH Perdata)
10. Selain itu dalam memberikan wasiat juga harus memperhatikan mengenai adanya Bagian mutlak (legitieme portie) yang dimiliki oleh ahli waris dalam garis lurus ke bawah maupun ke atas. Ketentuan besar bagian mutlak ini (Pasal 914-916 KUH Perdata) tidak boleh dikurangi meskipun dengan wasiat selama ahli waris mutlak tersebut menuntut bagian mutlaknya